Almarhum Papaku adalah seorang pencinta burung berkicau. Ia memiliki usaha perdagangan pakan ternak termasuk pakan burung, sangkar burung, aksesoris, dan juga jual-beli burung berkicau.
Sebagai satu-satunya toko burung di Ketapang waktu itu, entah sudah berapa banyak burung dan sangkar yang di’import’ Papa dari tanah Jawa untuk memenuhi kebutuhan para pencinta burung berkicau di Ketapang.
Jelas dalam ingatan, masa kecilku begitu dekat dengan Si Choki Cacatua sulphurea yang setia menyapaku setiap pagi. Ada burung poksay Mandarin Garrulax chinensis, samho, wambiGarrulax canorus yang liarnya minta ampun, dan kenari Serinus canaria.
Ada juga kutilang Pycnonotus aurigaster, robin Leiothrix lutea, parkit Melopsittacus undulatesyang jumlahnya bisa ratusan ekor sewaktu didatangkan dari Jawa. Dan dalam sekejap ludes diserbu para peminat!
Ada juga perkutut bangkok Geopelia striata yang harganya sudah mencapai 5 jutaan waktu itu. Ia mendiami sangkar bermahkota, berukir naga dan selalu digantung Papa di tempat khusus. Tidak ketinggalan Cucakrowo Pycnonotus zeylanicus yang harganya berkisar 50 ribu hingga 100 ribu dan selalu mengisi kandang umbaran dalam jumlah yang tidak sedikit.
Hampir 20 tahun berlalu, kecintaan pada burung, dan bisnis ‘perburungan’ masih begitu dekat dengan kehidupanku. Babak dilematis dimulai semenjak berkenalan baik dengan seorang maestro burung, Abdurrahman Al Qadrie.
Bang Doy, begitu panggilan akrabnya, mengenalkanku cara menikmati keindahan burung dalam bentuk lain. Kami keluar masuk hutan, menyisir pantai yang membentang luas di Ketapang. Tentu saja sembari ‘mengintip’ keberadaan burung di alam terbuka dengan menggunakan ‘mata lensa’. Kami pun menikmati setiap bunyi dan kicaunya sembari mengidentifikasi jenisnya.
Setiap akhir pekan, bersama teman-teman komunitas Pedahasan Photography, Bang Doy dan juga teman-teman Ketapang Biodiversity Keeping (KBK) kerap merencanakan perjalanan bersama. Perjalanan perdana kelompok ini beberapa waktu lalu menyisakan kesan yang begitu mendalam.
Perjalanan menuju hutan di Desa Pematang Gadung dan menyusuri Sungai Kepuluk selama 2,5 jam adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Sungai Kepuluk dengan keindahan hutan asri di sisinya dan beragam fauna menyambut kedatangan kami.
Bekantan Nasalis larvatus yang sedang menggendong anak dan segerombolan Macaca fascicularis yang lompat kocar-kacir di antara pepohonan ketika kami lewat, menjadi pemandangan yang tidak lazim bagiku.
Pekaka emas Pelargopsis capensis menjadi rezeki mata pertama kami sebagai pendatang baru dalam dunia bird watching. Kesigapan kawan-kawan Pedahasan Photography memotret model manusia, nyatanya berbanding terbalik dengan kesigapan memotret burung liar di alam. Kehadiran si Pekaka emas yang tiba-tiba tidak mampu kami abadikan dengan sempurna. “Ternyata tidak gampang memotret burung liar,” seloroh kawan-kawan saat kehilangan momen memotret burung berbulu dan berparuh menawan itu.
Birding Society of Ketapang (B’SYOK) kemudian menjadi identitas baruku. Perjalanan demi perjalanan kami agendakan. Tracking ke dalam hutan gambut Pematang Gadung yang kanopinya lumayan padat dan rapat, menyaksikan Anthracoceros malayanus yang sedang memberi makan anaknya, atau membidik kamera pada sikatan melayu Cyornis turcosus yang sedang tidur di ranting pohon.
Kami pun kerap menempuh medan yang tidak mudah atau berdiam diri di atas pepohonan yang tinggi untuk bisa menyaksikan kegiatan burung-burung. Pengamatan burung migrasi juga menjadi agenda tetap B’SYOK. Upaya memperkenalkan dunia birdwatching kepada orang awam menjadi lebih mudah dan menarik dengan hadirnya burung-burung dari belahan dunia lain.
Pantai Air Mati dipilih menjadi lokasi pengamatan. Komunitas Taruna Penjaga Alam (TAJAM) -sebuah komunitas peduli konservasi lingkungan- yang terdiri dari siswa beberapa SMA di Ketapang sering ikut dalam pengamatan ini.
Sekadar mengamati Sterna bergii yang bolak-balik melintasi pesisir pantai atau mengamati Gajahan Penggala Numenius phaeopus yang sedang mencari makan menjadi keasyikan tersendiri bagi mereka walaupun hanya lewat lubang binokular. Salah satu aktivitas ekstrem yang pernah kami lakukan adalah berlama-lama berendam di air laut dengan risiko DSLR terkena percikan air laut dan ancaman binatang-binatang laut hanya untuk mengambil foto Dara-laut jambul, Gajahan Penggala, atau Cerek pasir besar.
Kegiatan kami lainnya yaitu memberikan pendidikan dasar tentang perburungan. Ini menjadi materi utama ketika mendampingi kelompok siswa pencinta alam SMP/SMA. Hutan Kota Ketapang menjadi tempat favorit untuk melakukan pengamatan burung bersama kelompok ini. Di samping alasan lokasi yang cukup dekat dari kota, juga karena keberagaman jenis burung di sini.
Kurang lebih 60 jenis burung yang sudah masuk dalam list kami. Di tempat itu, kami mendengarkan kicauan, mengamati warna bulu, bentuk tubuh, dan mencari model yang serupa di ‘kitab’ Mc. Kinnon. Saat tracking ke hutan kota sepanjang 1,65 Km, kami disambut Halcyon coromanda dengan warna bulu dan paruhnya yang begitu menawan. Sepasang Cyornis rufigastradengan kicauannya yang merdu juga menjadi pemandangan yang mudah ditemukan.
Lebih jauh ke tengah hutan, Phaenicophaeus diardi dan Phaenicophaeus sumatranus juga bisa dilihat. Teriakan Macaca fascicularis yang ribut, suara nasalis larvatus di kejauhan, desis suara jangkrik, dan bermacam-macam kicauan burung yang sahut-menyahut bak paduan suara menjadi penyemangat siswa untuk semakin dekat dan cinta dengan alam.
Bird watching akhirnya menjadi terapi kejut bagiku. Keinginan untuk meninggalkan bisnis jual beli sangkar dan pakan burung berkicau warisan Papa pun semakin kuat. Doakan supaya aku mampu!
Penulis : Frans Doni
Foto : Abdurahman Al Qadrie
Tulisan ini adalah hasil dari lomba menulis BuNu 2012